Penegakan hukum yang
bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan
penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan
negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku,
juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses
penegakan hukum memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri.
Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses/tahapan yang
saling bergantung yang harus dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan
Masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum.
Sudah menjadi rahasia
umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu
anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga
masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran
lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana
korupsi.
Dalam
beberapa bulan terakhir ini, kita semua dibuat tercengang dengan penampilan
akrobatik para penegak hukum. Kasus Bibit-Chandra digadang menjadi simbol
karut-marut dan amburadulnya sistem penegakkan hukum kita, disusul dengan
skandal Bank Century dan puluhan kasus korupsi lainnya yang tak berhujung
pangkal. Sementara itu, secara berturut-turut mulai dari kasus "judi
koin" Raju bersama sembilan bocah lainnya, kasus "curhat medik"
Prita Mulyasari, kasus "3 biji kakao" nenek Minah, hingga kasus
"petaka semangka" Basar dan Kholil, menjadi pemandangan kontras
betapa dewi keadilan dengan mudahnya menebas hak-hak kaum plebeius secara
serampangan.
Akibatnya,
masyarakat menilai secara tidak langsung bahwa pengadilan bukan lagi menjadi
bastion of justice, melainkan bassinet of justice yang mudah dininabobokan dan
diayun sesuai kehendak oknum penegak hukum bersama dengan pihak yang
berperkara.
Sebagian besar
masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses penegakan
hukum yang sedang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya.
Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya law enforcement di negeri
ini. Sekalipun tidak komprehensif perlu ada langkah-langkah untuk membangun
sistem penegakan hukum yang akuntabel, antara lain:
1) Perlunya penyempurnaan atau
memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada,
sebagai contoh, perlunya ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) dari UU No.4 tahun 2004 terutama yang mengatur tentang
pemberian sanksi pidana bagi pelanggar KUHAP, khususnya bagi mereka, yang
ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan hukum yang jelas,
atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana telah
ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman
2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya,
karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme
hukum yang sedang ditegakkannya
3). Dibentuknya suatu lembaga yang
independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur
masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif)
yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum (law enforcemen’) dimana
lembaga tersebut nantinya berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi
bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan atau melanggar
proses penegakan hukum [ vide : pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman , Jo. pasal 17 Jo psl. 3 ayat (2 ) dan (3) Jo.
Psl.18 ayat (1) dan (4) UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ]
4) Perlu dilakukannya standarisasi dan
pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang
digaji yaitu: Hakim, Jaksa dan Polisi (Non Advokat) agar profesionalisme mereka
sebagai bagian terbesar penegak hukum di Indonesia dalam kerjanya lebih fokus
menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu sendiri
5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan
perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi
asas hukum yang mengatakan bahwa “setiap masyarakat dianggap tahu hukum”,
sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta
diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan Hukum atau LBH-LBH
dan LSM-LSM atau lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama dalam
melakukan “advokasi” agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat
benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di
negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri
6) Membangun tekad (komitmen) bersama dari
para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama
yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum,
yaitu Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat
dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat
Namun usul
langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel
tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan
yang bersih (clean government), karena penegakan hukum (law enforcement) adalah
bagian dari sistem hukum pemerintahan.
Pemerintahan negara
(lapuissance de executrice) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum
yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena
sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari
Politik Hukum Pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat
indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Penegakan hukum yang
akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara
Hukum (rechtsstaat). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria/ukuran
yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari
masyarakat. Tanpa itu penegakan hukum yang baik dan dapat dikontrol oleh
masyarakat, Penegakan Hukum yang baik di Indonesia hanya ada di Republik Mimpi.
Moralitas Hukum
Terungkapnya
hasil penyadapan terhadap kejanggalan perilaku dari oknum penegak hukum
memperlihatkan bahwa mafia hukum bukan lagi sekedar isapan jempol, namun telah
mendedahkan wujud aslinya di hadapan kita semua. Dengan berlindung pada
tirai-tirai KUHP, sebagian advokat begitu asyik membela kliennya mati-matian
tanpa memperhitungkan tuntutan rasa keadilan masyarakat. Setali tiga uang,
oknum hakim, jaksa, polisi, dan para pegawai di instansi tersebut ikut jua
membidani ambruknya nilai komunal moralitas dan nurani penegakan hukum dengan
menciptakan pasar lelang perkara. Ironisnya, secara jujur harus pula kita akui bahwa
terkadang masyarakat pun turut terlibat dalam penyimpangan moral dan nurani hukum
tersebut dengan cara merekayasa keterangannya sebagai saksi atau ahli di
persidangan.
Padahal
dengan menggunakan metode "moral
reading" dari Ronald
Dworkin, Satjipto Rahardjo (2008) telah mengkonstruksikan negara hukum
Indonesia sebagai suatu negara dengan nurani atau negara yang memiliki
kepedulian (a state with conscience and compassion). Artinya, common
sense dan legal sense yang berselaras dengan legal and moral ethics sejatinya
menempati status penting dalam sistem penegakkan hukum di Indonesia. Pada medio
1970-an, Philippe Nonet dan Philip Selznick menyampaikan bahwa obyek
pembangunan hukum suatu negara sebaiknya berjalan berdasarkan realitas dinamika
internal bangsa sendiri, dan bukan meniru negara manapun.
Dari
sudut subyeknya, Kranenburg mengatakan bahwa para sarjana hukum jangan terjebak
dalam optik hukum positif semata, tetapi harus membuka hati dan pikirannya
terhadap perkembangan masyarakat. Sementara itu, Descartes dalam maha karyanya "Discourse on Method" mengingatkan bahwa berjubelnya hukum
tanpa ketegasan justru seringkali menghalangi keadilan.
Dengan
demikian, menjalani hukum sebaiknya tidak sekedar dipandang dari sudut
legalistik-positivistik dan fungsional an sich, namun juga secara natural
memiliki watak kebenaran dan berkeadilan sosial. Jika kita kembali pada
Pancasila sebagai filosofische grondslag, maka akan ditemukan bahwa keadilan
sosial (social justice) menjadi prinsip penting dalam sistem
hukum kita.
Terhadap
hal tersebut Mahkamah Konstitusi secara tegas telah menafsirkan bahwa keadilan
akan berlaku dengan "memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan
memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda" (vide Putusan
Nomor 14-17 dan 27/PUU-V/2007). Oleh karena itu, tidak seluruh peristiwa hukum
harus diperlakukan sama secara mutlak, bahkan bagi John Rawls keadilan sosial
justru lebih menekankan rasa adil yang diperuntukkan bagi kaum lemah (the least
advantaged).
Menyikapi Momentum
Setelah
terdeteksinya titik-titik kanker koruptif di lembaga penegak hukum kita, maka operasi
cesar dengan pisau yang tepat layak segera dilakukan. Kita tentu berkeyakinan
bahwa masih banyak para aparat penegak hukum yang memiliki moral dan nurani
bersih namun (sengaja) dipinggirkan, sehingga sudah seyogyanya momentum ini
dimanfaatkan sebagai renaissance nurani hukum. Oleh sebab itu,
komitmen dan kemauan politik dari pemerintah, parlemen, dan pimpinan lembaga
penegak hukum menjadi alat vital dalam hal ini. Masyarakat amat merindukan
teladan hukum, sehingga prasyarat kejujuran, ketegasan, dan keberanian dalam
menegakkan hukum dengan moral dan nurani menjadi syarat minimal dari pencarian
tersebut (Deryck Beyleveld, Law as a Moral Judgment, 1986).
Sebaliknya,
jika terbukti atau setidak-tidaknya terindikasi adanya praktik koruptif dan
penyimpangan hukum di aras kekuasaan manapun, maka sudah selayaknya segera
dibersihkan. Dalam konteks ini, Cicero sempat berpidato di depan tribunus
dengan mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor,
sehingga tindakan yang pantas dilakukan menurutnya adalah dengan memotong dan
membuangnya (Imperium, 2007). Masalah pelik dihadapi ketika nurani seseorang
tertutup kabut tebal akibat "keterlanjurannya" terlibat atas
sandiwara mafia hukum dan peradilan. Pastilah mereka diam dan bungkam seribu
bahasa karena khawatir sejarah kelamnya akan ikut terbuka, sehingga tepat
ketika J.E. Sahetapy menyitir pepatah Belanda "de
pot verwijt de ketel" yang
artinya "belanga menuduh panci, maka akan sama-sama hitam pantatnya".
Satu
hal yang tidak kalah pentingnya yakni dengan menggalang pengawasan oleh rakyat
dan pers secara langung dan terus-menerus. Tanpa adanya pemberitaan dari media
massa, tentu tabir kelam penegakkan hukum seperti sekarang ini tidak akan
pernah tersingkap ke meja publik. A
blessing in disguise! Oleh
karenanya kita patut bersyukur, sebab baik aparat penegak hukum maupun
masyarakat luas menjadi terlatih pendengaran telinganya, terasah penglihatan
matanya, dan tersinari hati nuraninya.
Perjuangan
menegakkan keadilan berdasar moralitas dan hati nurani yang tulus memang terasa
berat dan tiada henti. Akan tetapi, keyakinan atas pencapaiannya tidak boleh
pernah goyah atau redup sedikitpun. Tentunya di masa yang akan datang kita berharap bahwa
tak perlu lagi kita mengais-ngais untuk sekedar mencari sebongkah nurani di
tengah-tengah ilalang keadilan. Bahkan saking pentingnya arti sebuah nurani
hukum, Mahatma Gandhi pernah menyatakan, "In
matters of conscience, the law of the majority has no place".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar