Banyak sekali permasalahan banjir di Indonesia yang perlu
dikaji secara mendalam. Misalnya, banjir Sungai Citarum pada tahun 2000.
Masalahnya, banjir dengan diikuti tanah longsor seperti yang terjadi di
berbagai daerah seperti di Aceh, Lampung, Jakarta, Bandung, Cilacap,
Purwokerto, Kebumen, Gorontalo, tidak cukup hanya diratapi bersama
sebagai bencana alam. Juga tidak cukup bila hanya dengan mengkambinghitamkan
hujan deras sebagai penyebab tunggal. Seluruh faktor penyebab harus diungkap
dan jalan pemecahannya perlu dicari agar bisa ditindaklanjuti secara serius.
Sedikitnya ada lima faktor penting penyebab banjir di
Indonesia yaitu:
1. Faktor hujan.
Hujan bukanlah penyebab utamna banjir dan tidak selamanya
hujan lebat akan menimbulkan banjir. Begitu pula sebaliknya . Terjadi atau
tidaknya banjir justru sangat tergantung dari keempat faktor penyebab lainnya
karena secara statistik hujan sekarang ini merupakan pengulangan belaka dari
hujan yang telah terjadi di masa lalu. Hujan sejak jutaan tahun yang lalu
berinteraksi dengan faktor ekologi, geologi, vulkanik mengukir permukaan bumi
menghasilkan lembah, sungai, danau, cekungan serta sungai dan
bantarannya. Permukaan bumi ini kemudian memperlihatkan secara jelas
lokasi-lokasi rawan banjir yang perlu diwaspadai.
Penanggulangan banjir dari faktor hujan ini sangat sulit,
bahkan mustahil, karena hujan adalah faktor ekstern yang digerakkan oleh iklim
makro/global. Usaha yang bisa dilakukan adalah menjauhkan permukiman, industri
dan pusat pertumbuhan lainnya dari daerah banjir yang sudah secara historis
dipetakan oleh hujan. Untuk mengurangi kerugian banjir akibat hujan, bisa
dikembangkan fungsi peringatan dini. Caranya dengan mengukur tinggi hujan di
berbagai tempat, lalu dibuat kurva hubungan antara curah hujan (tinggi hujan)
dengan tinggi muka air sungai yang akan terjadi. Dengan ini masyarakat yang
akan terkena banjir bisa mendapat informasi lebih dini.
2.
Faktor
DAS
Daerah
Aliran Sungai adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai
yang bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh
langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi DAS
dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan
tata guna lahan, misalnya dari hutan dijadikan perumahan, perkebunan atau
lapangan golf akan menyebabkan retensi DAS ter-sebut berkurang secara drastis.
Seluruh
air hujan akan dilepaskan DAS ke arah hilir. Sebaliknya semakin besar retensi
suatu DAS semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan
(diretensi) dan secara perlahan-lahan dialirkan ke sungai hingga tidak
menimbulkan banjir di hilir. Manfaat langsung peningkatan retensi DAS adalah
konservasi air di DAS terjaga, muka air tanah stabil, sumber air terpelihara,
kebutuhan air untuk tanaman terjamin dan fluktuasi debit sungai dapat stabil.
Retensi
DAS dapat ditingkatkan dengan program penghijauan yang menyeluruh baik di
perkotaan, pedesaan, atau kawasan lain, mengaktifkan reservoar-reservoar
alamiah, pembuatan resapan-resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau
menghindari sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat
mengakibatkan sulitnya air hujan meresap ke tanah.
Memperbaiki
retensi DAS pada prinsipnya adalah memperbanyak kemungkinan air hujan dapat
meresap secara alamiah ke dalam tanah sebelum masuk ke sungai atau
mengalir ke hilir. Untuk hal ini perlu kesadaran masyarakat secara masal
terhadap pentingnya DAS melalui proses pembelajaran sosial yang intensif dan
terus-menerus.
3.
Kesalahan
pembangunan
Pola
penanggulangan banjir serta longsor sejak abad ke-16 hingga akhir abad
ke-20 di seluruh dunia sebenarnya hampir sama, yaitu dengan pelurusan,
sudetan, pembuatan tanggul, pembetonan dinding, dan pengerasan tampang sungai.
Sungai-sungai di Indonesia 30 tahun terakhir ini juga mengalami hal serupa.
Intinya adalah mengusahakan air banjir secepat-cepatnya dikuras ke hilir,
tanpa memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir.
Pola
pelurusan dan sudetan seperti di atas jelas mengakibatkan percepatan aliran air
menuju hilir. Di bagian hilir akan menanggung volume aliran air yang jauh
lebih besar dibanding sebelumnya. Jika tampang sungai di tempat tersebut
tidak mencukupi maka akan terjadi peluapan ke bagian bantaran. Jika
bantaran sungai tidak cukup, bahkan mungkin telah penuh dengan
rumah-rumah penduduk, maka akan terjadi penggelembungan atau pelebaran
aliran. Akibatnya areal banjir semakin melebar atau bahkan alirannya berpindah
arah.
Pelurusan
dan sudetan sungai pada hakikatnya merupakan penghilangan retensi atau
pengurangan kemampuan retensi alur sungai terhadap aliran airnya.
Penyelesaian masalah banjir di suatu tempat dengan cara ini pada
hakikatnya merupakan penciptaan masalah banjir baru di tempat lain di bagian
hilirnya.
Oleh
karena itu, pola penanganan banjir di Indonesia memasuki abad ke-21 ini
tidak lagi dengan cara-cara di atas, namun dengan menggunakan prinsip integralistik yaitu One River-One Plant and One Intergrated Management. Dengan prinsip ini maka banjir juga harus dibagi secara integral sepanjang sungai menjadi banjir kecil-kecil, guna menghindari banjir besar yang destruktif di suatu tempat tertentu.
tidak lagi dengan cara-cara di atas, namun dengan menggunakan prinsip integralistik yaitu One River-One Plant and One Intergrated Management. Dengan prinsip ini maka banjir juga harus dibagi secara integral sepanjang sungai menjadi banjir kecil-kecil, guna menghindari banjir besar yang destruktif di suatu tempat tertentu.
Perlu
dikembangkan juga prinsip Let River be Natural River. Implikasinya dalam
penanggulangan banjir adalah justru sungai alamiah yang bermeander,
bervegetasi lebat, dan memiliki retensi alur tinggi, yang perlu dijaga
kelestariannya. Soalnya, hanya ini yang mempunyai retensi tinggi terhadap
banjir.
4.
Pendangkalan
Faktor
pendangkalan sungai termasuk faktor penting pada kejadian banjir. Pendangkalan
sungai berarti terjadinya pengecilan tampang sungai, hingga sungai tidak mampu
mengalirkan air yang melewatinya dan akhirnya meluap.
Pendangkalan
sungai dapat diakibatkan oleh proses pengendapan (sedimentasi)
terus-menerus, terutama di bagian hilir sungai. Proses sedimentasi di
bagian hilir ini dapat disebabkan oleh erosi intensif di bagian hulu.
Erosi ini selain merupakan akibat dari rusaknya DAS bagian hulu hingga
tanahnya mudah tererosi, juga karena pelurusan sungai dan sudetan, yang
dapat mendorong peningkatan erosi di bagian hulu.
Material
tererosi ini akan terbawa aliran dan lambat laun diendapkan di hilir hingga
menyebabkan pendangkalan di hilir. Masalah pendangkalan sungai sudah sangat
serius dan ditemukan di hampir seluruh daerah hilir/muara di Indonesia.
Untuk itu
perlu segera disosialisasikan perbaikan DAS dengan pelarangan penjarahan hutan
dan penghentian HPH serta peninjauan kembali proyek-proyek pelurusan dan sudetan-sudetan
yang tidak perlu.
Pendangkalan
sungai juga dapat diakibatkan oleh akumulasi endapan sampah yang dibuang
masyarakat ke sungai. Sampah domestik yang dibuang warga masyarakat ke
sungai terutama di kota-kota besar akan berakibat terjadinya pendangkalan
dan penutupan alur sungai sehingga aliran air tertahan dan akhirnya sungai
meluap.
Berbagai
penelitian sungai di Indonesia mencatat bahwa setiap sungai yang melintasi
kawasan permukiman di samping kualitasnya sangat buruk juga kandungan sampahnya
tinggi. Maka sudah sangat mendesak untuk mengadakan sosialisasi peraturan
pelarangan dan sanksi pembuangan sampah di sungai bahkan jika perlu dibentuk
polisi sungai yang bertugas menjaga lingkungan sungai secara profesional.
5.
Tata
wilayah
Kesalahan
fatal yang sering dijumpai dalam perencanaan tata wilayah adalah penetapan
kawasan permukiman atau pusat perkembangan justru di daerah-daerah rawan
banjir. Terlebih lagi perkembangan tata wilayah juga sering tidak bisa
dikendalikan, sehingga mengarah ke daerah banjir.
Sebagai
contoh, banyak sekali perumahan baru yang dibangun di daerah bantaran dan
tebing sungai yang rawan banjir dan longsor. Demikian juga banyak terjadi
pembangunan jalan tol, jalan provinsi, tanggul, dan saluran drainasi,
yang justru dapat menyebabkan terjadinya banjir di kawasan tertentu
karena salah dalam perencanaannya. Air jadi tertahan, tidak bisa lancar
keluar atau semua air mengalir menuju kawasan tertentu sehingga terjadi banjir.
Penyelesaian
masalah itu tidak bisa digeneralisasi. Diperlukan semakin banyak
orang yang ahli atau tahu mengenai banjir baik yang berskala mikro maupun makro, untuk merencanakan pembangunan tanpa menimbulkan banjir.
orang yang ahli atau tahu mengenai banjir baik yang berskala mikro maupun makro, untuk merencanakan pembangunan tanpa menimbulkan banjir.
Kelima
faktor tersebut secara integral perlu diperhatikan serius oleh seluruh
ahli banjir di Indonesia guna menghindari dan menanggulangi banjir secara
integral. Ironis juga rasanya, kalau negara Indonesia yang kaya akan
masalah banjir tidak kaya ahli banjir. Apa justru karena Indonesia tidak
kaya ahli banjir maka sering kebanjiran?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar