Rabu, 28 Oktober 2015

Wajah Koperasi Di Indonesia

Menegakkan wibawa perkoperasian di Indonesia masih butuh perjuangan berat.  Jalan masih panjang untuk benar-benar merealisasikan jargon koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Salah satu penyebabnya, penetrasi Credit Union di tanah air yang masih memprihatinkan.
Berdasarkan statistik WOCCU (World Council of Credit Union), pada akhir tahun 2012 lalu Indonesia memiliki 930 Credit Union atau Koperasi yang terdaftar resmi di Inkopdit dengan anggota individu 2.070.024 orang. Jumlah ini dibandingkan dengan jumlah penduduk baru mencapai sekitar 1,23%. Bandingkan dengan negara-negara lain yang lebih melek koperasi seperti Filipina dengan persentase 6,72%, Srilanka 6,24%, Thailand 7,24% atau Korea yang mencapai `16,54%. Jangan pikir negara kapitalis seperti Amerika Serikat alergi terhadap gerakan ekonomi kerakyatan ini. Persentase penduduk yang jadi anggota koperasi disana lebih tinggi lagi yaitu 45,39%. Bahkan kita masih berada di bawah  beberapa negara di Afrika yang masih berjibaku melawan kemiskinan seperti Malawi yang mencapai 1,25% dan Zimbabwe 1,93%.
Walaupun saat ini koperasi mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan namun bukan berarti tidak ada koperasi yang tidak aktif atau koperasi yang gulung tikar. Banyak hal yang menyebabkan koperasi-koperaasi di Indonesia mengalami kebangkrutan yang dikarenakan diantaranya yaitu kegiatan operasional tidak berdasarkan prinsip, nilai dan azas koperasi, buruknya manajemen koperasi baik manajemen keuangan maupun manajemen SDM serta minimnya partisipasi anggota akibat kurangnya pendidikan akan perkoperasian. Penyebab yang paling sering dialami koperasi-koperasi Indonesia adalah mengalami kurangnya modal usaha yang juga disebabkan oleh tidak disiplin administratif oleh anggota serta tidak adanya kemitraan yang dijalin oleh koperasi. Hal diatas diperkuat oleh data Laporan Dinas Koperasi dan UMKM tahun 2000 – 2010  yang dimana terdapat 88.930 koperasi aktif dan 14.147 koperasi yang tidak aktif pada tahun 2000 dan mengalami peningkatan pada tahun 2001 sebesar 89.756 koperasi yang aktif dan 21.010 koperasi yang tidak aktif. Berdasarkan data tersebut dapat kita lihat pertumbuhan koperasi yang aktif juga diikuti oleh peningkatan koperasi yang tidak aktif. Sangat disayangkan jika koperasi hanya bertumbuh secara kuantitas dan bukan secara kualitas.

Pekerjaan Rumah pertama adalah bagaimana membenahi mindset masyarakat mengenai koperasi. Sebagian orang masih menganggap koperasi itu hanya tempat simpan dan pinjam belaka. Karena fungsinya direduksi seperti itu, akhirnya koperasi pun kalah pamor dengan lembaga keuangan lain. Seperti Perbankan yang fitur-fitur simpanannya lebih komplit, dan Lembaga Pembiayaan yang pelayanan pinjamannya lebih canggih. Tidak usah heran persentase masyarakat yang menjadi anggota koperasi masih sangat minim.
Tidak bisa dipungkiri juga, faktor lain yang mendorong masyarakat resisten adalah masih ada noktah hitam pada gerakan koperasi yang diakibatkan oleh oknum-oknum yang mengambil keuntungan secara sepihak dari penggalangan dana masyarakat. Ini juga yang membuat sebagian orang lainnya mencibir begitu mendegar kata koperasi.
Dulu pernah ada koperasi yang berhasil menghimpun anggota dan dana yang banyak. Koperasi itu bernama Kospin, terbentuk di daerah Pinrang, Sulawesi Selatan. Anggotanya sampai ke Makassar, Saat itu Kospin berani menawarkan bunga tinggi kepada anggotanya, konon bisa mencapai 30% per bulan. Siapa yang tidak tergiur dengan bunga tinggi begitu? Maka berbondong-bondonglah masyarakat menjadi anggota pada koperasi tersebut. Anggota-anggota awal mungkin masih bisa merasakan manfaat tabungannya karena saat itu likuiditas koperasi masih digunakan sebagaimana mestinya. Tapi pada saat cash in sudah semakin banyak, seriring dengan pertambahan anggota, pengelola koperasi pun gelap mata lalu kabur meninggalkan anggota-anggotanya. Tidak sedikit anggota yang sudah menanamkan dana jutaan hingga puluhan juta rupiah.
Anehnya kasus-kasus seperti ini tidak kunjung membuat masyarakat jera pada praktik-praktik mencari keuntungan instan. Modus yang sama masih sering kita dengar terjadi. Terakhir masih segar di ingatan kita tragedi Koperasi Langit Biru yang telah merugikan lebih dari 100 ribu anggotanya.
Memang tidak semua permasalahan koperasi timbul karena pengelolanya yang pendek iman. Bisa juga karena kapasitas pengelola yang belum memadai, atau pengetahuan mengenai manajemen keuangan dan perkreditan yang masih kurang. Masalah-masalah sehubungan dengan itu misalnya timbul kredit macet yang besar, atau biaya modal yang tinggi akibat cash in banyak tapi pengelola tidak mampu memutar kembali sumber dana yang dimilikinya, sehingga koperasi terus merugi.
Untuk menalangi permasalahan seperti ini Pemerintah cq Kementerian Koperasi pun biasa menggelontorkan sejumlah dana dari APBN. Syukur-syukur kalau dana tersebut bisa segera memulihkan masalah likuiditas koperasi-koperasi yang bermasalah. Sayangnya, pemerintah belum memainkan fungsi pengawasannya secara maksimal. Efek belati bermata dua dari bantuan seperti ini adalah munculnya banyak koperasi siluman. Indikatornya adalah jumlah koperasi yang meningkat menjelang pengucuran dana bergulir, lalu setelah itu banyak diantaranya yang hilang tak berbekas. Bisa ditebak kantung siapa yang terisi.
Kabar Baik Koperasi
Ulasan fenomena di atas bukan untuk menakut-nakuti tapi untuk memberi tambahan wawasan kepada pembaca bagaimana sebenarnya keadaan di lapangan yang membuat sebagian orang memiliki paradigma negatif mengenai koperasi. Padahal jika koperasi benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya, koperasi dapat menjadi sarana yang baik bagi masyarakat untuk memberdayakan diri dan mengembangkan potensi ekonominya.
Kemajuan gerakan koperasi di Propinsi Kalimantan Barat misalnya dapat menjadi contoh bagaimana koperasi benar-benar bermitra dengan masyarakat. Di kota Pontianak dan sekitarnya, ada Credit Union (CU) Khatulistiwa Bakti, CU Lantang Tipo, CU Keling Kumang, CU Pancur Kasih dan sejumlah Credit Union Besar lainnya. Di sana koperasi atau Credit Union telah berdiri puluhan tahun dan tetap eksis serta terus berkembang bersama masyarakat. Puluhan CU di sana bernaung di bawah beberapa CU sekunder (Puskopdit) yang juga tata kelolanya baik, seperti Puskopdit BKCU Kalimantan, Puskopdit Kapuas, dan lain-lain.
Di Pulau Jawa beberapa Credit Union dalam jaringan kami masih berjalan baik dan tetap setia pada core business-nya, melayani orang-orang kecil misalnya CUMI (Credit Union Microfinance Innovation) Pelita Kasih di Blok Q Jakarta, kemudian CU Primadanarta di Surabaya, dan beberapa Credit Union lainnya. Begitu pula di kepulauan Nusa Tenggara yang memang memiliki banyak koperasi. Sebagian di antaranya juga berjalan baik dan berhasil bermitra bersama masyarakat seperti CU Kasih Sejahtera di Atambua, CU Liku Aba di Sumba, CU Sinar Saron di Larantuka dan sejumlah CU lainnya.
Salah satu tempat di pedalaman Sulawesi Barat sebagian besar dari mereka adalah anggota koperasi simpan pinjam setempat yang telah berdiri puluhan tahun. Memang koperasi mereka agak statis jalannya, tapi ternyata di masa lalu koperasi itu jadi pahlawan yang menemani mereka melewati masa-masa susah. Sebagian besar dari mereka adalah transmigran asal NTT yang hijrah kurang lebih 30-an tahun lalu. Beberapa saat setelah mereka menetap di sana mereka pun sepakat mendirikan koperasi sebagai sarana berkumpul dan gotong royong dalam bidang ekonomi.  Hanya saja pada  saat itu uang bukanlah barang yang mudah diperoleh, karena lahan yang mereka garap belum menghasilkan dan subsidi dari pemerintah saat itu hanya berupa beras serta sembako seadanya. Jadi sebagai media cooperative-nya mereka menggunakan beras. Simpanan pokok, iuran wajib, pinjaman dan bunganya semuanya ditakar dalam bentuk beras. Jadi bila ada kepala keluarga anggota koperasi yang membutuhkan dipersilahkan meminjam beras dalam jumlah tertentu. Nantinya pengembalian pinjaman plus bunganya juga dalam bentuk beras. Kebiasaan itu berlangsung beberapa lama sampai peredaran uang mulai lancar karena tanah yang mereka olah sudah mulai menghasilkan. Cerita inspiratif tadi membuktikan kehadiran koperasi juga ikut berkontribusi bagi perkembangan ekonomi masyarakat.
Kesimpulannya, koperasi pada dasarnya berdiri di atas nilai-nilai luhur untuk membantu mengangkat potensi ekonomi masyarakat. Sayangnya, sebagian orang menggunakan kedok koperasi untuk menghimpun dana masyarakat demi keuntungan semata. Orang-orang seperti inilah yang seringkali mencoreng wajah perkoperasian kita. Sebagian koperasi lain berjalan di tempat karena kurangnya pengetahuan pengelolanya mengenai tata kelola koperasi. Untuk masalah yang terakhir ini, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Koperasi dan UKM mesti memainkan peranannya lebih baik lagi.
Daftar pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar