Menegakkan
wibawa perkoperasian di Indonesia masih butuh perjuangan berat. Jalan
masih panjang untuk benar-benar merealisasikan jargon koperasi sebagai soko
guru perekonomian nasional. Salah satu penyebabnya, penetrasi Credit Union di
tanah air yang masih memprihatinkan.
Berdasarkan
statistik WOCCU (World Council of Credit Union), pada akhir tahun 2012
lalu Indonesia memiliki 930 Credit Union atau Koperasi yang terdaftar resmi di
Inkopdit dengan anggota individu 2.070.024 orang. Jumlah ini dibandingkan
dengan jumlah penduduk baru mencapai sekitar 1,23%. Bandingkan dengan
negara-negara lain yang lebih melek koperasi seperti Filipina dengan persentase
6,72%, Srilanka 6,24%, Thailand 7,24% atau Korea yang mencapai `16,54%. Jangan pikir
negara kapitalis seperti Amerika Serikat alergi terhadap gerakan ekonomi
kerakyatan ini. Persentase penduduk yang jadi anggota koperasi disana lebih
tinggi lagi yaitu 45,39%. Bahkan kita masih berada di bawah beberapa
negara di Afrika yang masih berjibaku melawan kemiskinan seperti Malawi yang
mencapai 1,25% dan Zimbabwe 1,93%.
Walaupun saat ini koperasi
mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan namun bukan berarti tidak ada
koperasi yang tidak aktif atau koperasi yang gulung tikar. Banyak hal yang
menyebabkan koperasi-koperaasi di Indonesia mengalami kebangkrutan yang
dikarenakan diantaranya yaitu kegiatan operasional tidak berdasarkan prinsip,
nilai dan azas koperasi, buruknya manajemen koperasi baik manajemen keuangan
maupun manajemen SDM serta minimnya partisipasi anggota akibat kurangnya
pendidikan akan perkoperasian. Penyebab yang paling sering dialami
koperasi-koperasi Indonesia adalah mengalami kurangnya modal usaha yang juga
disebabkan oleh tidak disiplin administratif oleh anggota serta tidak adanya
kemitraan yang dijalin oleh koperasi. Hal diatas diperkuat oleh data Laporan
Dinas Koperasi dan UMKM tahun 2000 – 2010 yang dimana terdapat 88.930
koperasi aktif dan 14.147 koperasi yang tidak aktif pada tahun 2000 dan
mengalami peningkatan pada tahun 2001 sebesar 89.756 koperasi yang aktif dan
21.010 koperasi yang tidak aktif. Berdasarkan data tersebut dapat kita lihat
pertumbuhan koperasi yang aktif juga diikuti oleh peningkatan koperasi yang
tidak aktif. Sangat disayangkan jika koperasi hanya bertumbuh secara kuantitas
dan bukan secara kualitas.
Pekerjaan Rumah pertama adalah bagaimana
membenahi mindset masyarakat mengenai koperasi. Sebagian orang
masih menganggap koperasi itu hanya tempat simpan dan pinjam belaka. Karena
fungsinya direduksi seperti itu, akhirnya koperasi pun kalah pamor dengan
lembaga keuangan lain. Seperti Perbankan yang fitur-fitur simpanannya lebih
komplit, dan Lembaga Pembiayaan yang pelayanan pinjamannya lebih canggih. Tidak
usah heran persentase masyarakat yang menjadi anggota koperasi masih sangat
minim.
Tidak bisa dipungkiri juga, faktor lain yang
mendorong masyarakat resisten adalah masih ada noktah hitam pada gerakan
koperasi yang diakibatkan oleh oknum-oknum yang mengambil keuntungan secara
sepihak dari penggalangan dana masyarakat. Ini juga yang membuat sebagian orang
lainnya mencibir begitu mendegar kata koperasi.
Dulu pernah ada koperasi yang berhasil
menghimpun anggota dan dana yang banyak. Koperasi itu bernama Kospin, terbentuk
di daerah Pinrang, Sulawesi Selatan. Anggotanya sampai ke Makassar, Saat itu Kospin berani menawarkan bunga tinggi
kepada anggotanya, konon bisa mencapai 30% per bulan. Siapa yang tidak tergiur
dengan bunga tinggi begitu? Maka berbondong-bondonglah masyarakat menjadi
anggota pada koperasi tersebut. Anggota-anggota awal mungkin masih bisa
merasakan manfaat tabungannya karena saat itu likuiditas koperasi masih
digunakan sebagaimana mestinya. Tapi pada saat cash in sudah
semakin banyak, seriring dengan pertambahan anggota, pengelola koperasi pun
gelap mata lalu kabur meninggalkan anggota-anggotanya. Tidak sedikit anggota
yang sudah menanamkan dana jutaan hingga puluhan juta rupiah.
Anehnya kasus-kasus seperti ini tidak kunjung
membuat masyarakat jera pada praktik-praktik mencari keuntungan instan. Modus
yang sama masih sering kita dengar terjadi. Terakhir masih segar di ingatan
kita tragedi Koperasi Langit Biru yang telah merugikan lebih dari 100 ribu
anggotanya.
Memang tidak semua permasalahan koperasi
timbul karena pengelolanya yang pendek iman. Bisa juga karena kapasitas
pengelola yang belum memadai, atau pengetahuan mengenai manajemen keuangan dan
perkreditan yang masih kurang. Masalah-masalah sehubungan dengan itu misalnya
timbul kredit macet yang besar, atau biaya modal yang tinggi akibat cash
in banyak tapi pengelola tidak mampu memutar kembali sumber dana yang
dimilikinya, sehingga koperasi terus merugi.
Untuk menalangi permasalahan seperti ini
Pemerintah cq Kementerian Koperasi pun biasa menggelontorkan sejumlah dana dari
APBN. Syukur-syukur kalau dana tersebut bisa segera memulihkan masalah
likuiditas koperasi-koperasi yang bermasalah. Sayangnya, pemerintah belum
memainkan fungsi pengawasannya secara maksimal. Efek belati bermata dua dari
bantuan seperti ini adalah munculnya banyak koperasi siluman. Indikatornya
adalah jumlah koperasi yang meningkat menjelang pengucuran dana bergulir, lalu
setelah itu banyak diantaranya yang hilang tak berbekas. Bisa ditebak kantung
siapa yang terisi.
Kabar Baik Koperasi
Ulasan fenomena di atas bukan untuk
menakut-nakuti tapi untuk memberi tambahan wawasan kepada pembaca bagaimana
sebenarnya keadaan di lapangan yang membuat sebagian orang memiliki paradigma
negatif mengenai koperasi. Padahal jika koperasi benar-benar dijalankan
sebagaimana mestinya, koperasi dapat menjadi sarana yang baik bagi masyarakat
untuk memberdayakan diri dan mengembangkan potensi ekonominya.
Kemajuan gerakan koperasi di Propinsi
Kalimantan Barat misalnya dapat menjadi contoh bagaimana koperasi benar-benar
bermitra dengan masyarakat. Di kota Pontianak dan sekitarnya, ada Credit Union
(CU) Khatulistiwa Bakti, CU Lantang Tipo, CU Keling Kumang, CU Pancur Kasih dan
sejumlah Credit Union Besar lainnya. Di sana koperasi atau Credit Union telah
berdiri puluhan tahun dan tetap eksis serta terus berkembang bersama
masyarakat. Puluhan CU di sana bernaung di bawah beberapa CU sekunder
(Puskopdit) yang juga tata kelolanya baik, seperti Puskopdit BKCU Kalimantan,
Puskopdit Kapuas, dan lain-lain.
Di Pulau Jawa beberapa Credit Union dalam
jaringan kami masih berjalan baik dan tetap setia
pada core business-nya, melayani orang-orang kecil misalnya CUMI (Credit
Union Microfinance Innovation) Pelita Kasih di Blok Q Jakarta, kemudian CU Primadanarta
di Surabaya, dan beberapa Credit Union lainnya. Begitu pula di kepulauan Nusa
Tenggara yang memang memiliki banyak koperasi. Sebagian di antaranya juga
berjalan baik dan berhasil bermitra bersama masyarakat seperti CU Kasih
Sejahtera di Atambua, CU Liku Aba di Sumba, CU Sinar Saron di Larantuka dan
sejumlah CU lainnya.
Salah satu tempat
di pedalaman Sulawesi Barat sebagian besar dari mereka adalah anggota
koperasi simpan pinjam setempat yang telah berdiri puluhan tahun. Memang
koperasi mereka agak statis jalannya, tapi ternyata di masa lalu koperasi itu
jadi pahlawan yang menemani mereka melewati masa-masa susah. Sebagian besar
dari mereka adalah transmigran asal NTT yang hijrah kurang lebih 30-an tahun
lalu. Beberapa saat setelah mereka menetap di sana mereka pun sepakat
mendirikan koperasi sebagai sarana berkumpul dan gotong royong dalam bidang
ekonomi. Hanya saja pada saat itu uang bukanlah barang yang mudah
diperoleh, karena lahan yang mereka garap belum menghasilkan dan subsidi dari
pemerintah saat itu hanya berupa beras serta sembako seadanya. Jadi sebagai
media cooperative-nya mereka menggunakan beras. Simpanan pokok,
iuran wajib, pinjaman dan bunganya semuanya ditakar dalam bentuk beras. Jadi
bila ada kepala keluarga anggota koperasi yang membutuhkan dipersilahkan
meminjam beras dalam jumlah tertentu. Nantinya pengembalian pinjaman plus
bunganya juga dalam bentuk beras. Kebiasaan itu berlangsung beberapa lama
sampai peredaran uang mulai lancar karena tanah yang mereka olah sudah mulai
menghasilkan. Cerita inspiratif tadi membuktikan kehadiran koperasi juga ikut
berkontribusi bagi perkembangan ekonomi masyarakat.
Kesimpulannya, koperasi pada dasarnya berdiri
di atas nilai-nilai luhur untuk membantu mengangkat potensi ekonomi masyarakat.
Sayangnya, sebagian orang menggunakan kedok koperasi untuk menghimpun dana
masyarakat demi keuntungan semata. Orang-orang seperti inilah yang seringkali
mencoreng wajah perkoperasian kita. Sebagian koperasi lain berjalan di tempat
karena kurangnya pengetahuan pengelolanya mengenai tata kelola koperasi. Untuk
masalah yang terakhir ini, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Koperasi
dan UKM mesti memainkan peranannya lebih baik lagi.
Daftar pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar