Selasa, 10 Oktober 2017

Tugas 1.4 Profesi dan Profesionalisme

Profesi
Pengertiaan Profesi


Profesi berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi  kegiatan “apa  saja”  dan “siapa  saja”  untuk  memperoleh  nafkah  yang  dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik. Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan keterampilan  dan  keahlian  tinggi  guna  memenuhi  kebutuhan  yang  rumit  dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan keterampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan  lingkungan  hidupnya  serta  adanya  disiplin  etika  yang  dikembangkan  dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.
Profesi merupakan suatu pekerjaan yang mengandalkan keterampilan dan keahlian  khusus  yang  tidak  didapatkan  pada  pekerjaan-pekerjaan  sebelumnya. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pengemban profesi tersebut untuk terus memperbaharui keterampilannya sesuai perkembangan teknologi.
Menurut De George, Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.
Profesi = pekerjaan. Semua pekerjaan belum tentu profesi. Contoh rumah tangga adalah satu bentuk pekerjaan, tetapi tidak profesi karena  bisa dilakukan oleh siapa saja dengan apapun latar belakang pendidikan
Secara populer sedikitnya ada dua pengertian yang diberikan pada istilah profesi. Pertama, pekerjaan yang ditekuni dan menjadi tumupuan hidup. Kedua, lebih dari sekedar pekerjaan, profesi adalah bidang pekerjaaan yang dialnadasi oleh pendidikan keahlian tertentu. Selain itu, profesi sering dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu profesi baisa dan profesi luhur. Istilah profesi dalam bab ini, sebagaimana dapat kita pahami nanti, selain mengandung arti pekerjaan sebagai panggilan dan tumpuan hidup dan standar yang tinggi, juga berarti pekerjaan yang bercirikan keluhuran  dan  komitmen  moral  yang  tinggi.  Tegasnya,  profesi  memnag  suatu pekerjaan, tetapi berbeda dengan pekerjaan pada umumnya. Suatu profesi dibangun dengan landasan yang bermoral karena seorang profesional memang dituntut untuk menghasilkan kinerja berstandar kualitas tinggi dan mengutamakan kepentingan publik. Karena nilai-nilai moral ini, maka menyatakan “pencopet” adalah profesi tentulah tidak tepat; seorang pencopet, kerenanya, bukanlah seorang profesional, tetapi seorang penjahat yang pada dasarnya anti moral atau immoral.

Ciri-Ciri dan Syarat Profesi

Ciri-ciri suatu profesi diantaranya adalah:
1.     Adanya pengetahuan  khusus,  yang  biasanya keahlian  dan  keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2.    Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3.    Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4.    Izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan   kepentingan   masyarakat,   dimana   nilai-nilai   kemanusiaan   berupa keselamatan,   keamanan,   kelangsungan   hidup   dan   sebagainya,   maka   untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5.    Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.

Syarat Suatu Profesi
1)  Melibatkan kegiatan intelektual.
2)  Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
3)  Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.
4)  Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
5) Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
6)  Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7)  Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
8)  Menentukan standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.

Pengertian Etika Profesi
Menurut  Keiser  dalam (Suhrawardi Lubis, 1994: 6-7), etika profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan profesional terhadap masyarakat dengan ketertiban penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat. Etika  profesi  atau  etika  profesional merupakan unsur sangat penting dalam kehidupan komunitas profesi.
Etika profesi berfungsi sebagai panduan bagi para profesional dalam menjalani mereka memberikan dan mempertahankan jasa kepada masyarakat yang berstandar tinggi. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan profesi, etika meliputi norma-norma yang mentransformasikan nilai-nilai atau cita-cita (luhur) ke dalam  praktik  sehari-hari  para  profesional  dalam  menjalankan  profesi  mereka. Norma-norma ini biasanya dikodifikasikan secara formal ke dalam bentuk kode etik (code  of  ethics)  atau  kode (aturan)  perilaku (code  of  conducts)  profesi  yang bersangkutan.
Etika  profesi  biasanya  dibedakan  dari  etika  kerja      (work   ethics   atau occupational ethics) yang mengatur praktik, hak dan kewajiban bagi mereka yang bekerja di  bidang yang tidak  disebut  profesi (non-profesional)  non-propfesional adalah pegawai atau pekerja biasa dan dianggap dan dianggap kurang memiliki otonomi  dan  kekuasaan  atau  kemampuan  profesional.

Kode Etik Menurut UU No. 8 (Pokok-Pokok Kepegawaian)
Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri dan pelaksanaannya diawasi terus menerus

Sanksi Pelanggaran Kode Etik

1.     Sanksi moral
2.    Sanksi dikeluarkan dari organisasi
3.    Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu
Fungsi dari kode etik profesi adalah :
a.       Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan.
b.      Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
c.       Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah dibutuhkan dalam berbagai bidang.

Tujuan Kode Etika Profesi Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
1.     Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
2.    Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
3.    Untuk meningkatkan mutu profesi.
4.    Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
5.    Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
6.    Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
7.    Menentukan baku standarnya sendiri

Profesionalisme

Pengertian Profesionalisme

Profesionalisme (profésionalisme) ialah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya ter­dapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional. Profesional adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkakn suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang.
Profesionalisme berasal daripada profesion yang bermakna berhubungan dengan profesion dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Jadi, profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualiti dari seseorang yang profesional. (Longman, 1987)

Ciri-Ciri Profesionalisme
Seseorang yang memiliki jiwa profesionalisme senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan kerja-kerja yang profesional. Kualiti profesionalisme didokong oleh ciri-ciri sebagai berikut:
1.       Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati piawai ideal.
Seseorang yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan piawai yang telah ditetapkan. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada sesorang yang dipandang memiliki piawaian tersebut. Yang dimaksud dengan “piawai ideal” ialah suatu perangkat perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan.
2.      Meningkatkan dan memelihara imej profesion
Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara imej profesion melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai-bagai cara misalnya penampilan, cara percakapan, penggunaan bahasa, sikap tubuh badan, sikap hidup harian, hubungan dengan individu lainnya.
3.      Keinginan untuk sentiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan meperbaiki kualiti pengetahuan dan keterampiannya.
4.      Mengejar kualiti dan cita-cita dalam profesion
Profesionalisme ditandai dengan kualiti darjat rasa bangga akan profesion yang dipegangnya. Dalam hal ini diharapkan agar seseorang itu memiliki rasa bangga dan percaya diri akan profesionnya.

Referensi
Lubis, Satria Hadi. 2011. Etika Profesi PNS. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara


Tugas 1.3 Basis (Dasar) Teori Etika

Ada 3 teori etika, yaitu:
1.     Teori Teleologi
Sering disebut teori konsekuensialis, menyatakan bahwa nilai moral suatu tindakan atau praktik ditentukan semata-mata oleh konsekuensi dari tindakan atau praktik tersebut. Benar atau salahnya tindakan dan praktek ditentukan oleh akibat yang ditimbulkan oleh tindakan dan praktik tersebut.
Ada beberapa jenis teori teleologi, namun yang paling populer karena dipandang paling realistik adalah teori utilitirian (utilitarianisme) yang benar atau salahnya suatu tindakan ditentukan oleh baik atau buruknya konsekuensi bagi setiap orang yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut.
Sejalan dengan pendirian utilitirianisme, pengambilan keputusan etis meliputi langkah-langkah berikut:
1.      Menentukan alternatif tindakan yang tersedia pada setiap situasi keputusan.
2.     Menaksir biaya dan manfaaat dari masing-masing alternatif tindakan bagi setiap             orang yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut.
3.   Memilih alternatif tindakan yang menghasilkan jumlah terbesar manfaat atau                 jumlah terkecil biaya.

2.    Teori Deontologi
Teori ini menolak pendirian bahwa konsekuensi merupakan faktor relevan untuk menentukan apa yang seharusnya kita perbuat. Menurut deontologi, tindakan atau perbuatan tertentu adalah benar bukan karena manfaat bagi kita sendiri atau orang lain tetapi karena sifat atau hakikat perbuatan itu sendiri atau kaidah yang diikuti untuk berbuat.
Tujuh kewajiban moral adalah
                1.       Kewajiban menepati janji atau kesetiaan (fidelity)
               2.       Kewajiban ganti rugi (reparation)
               3.       Kewajiban terima kasih (gratitude)
               4.       Kewajiban keadilan (justice)
               5.       Kewajban berbuat baik (beneficence)
               6.       Kewajiban mengembangkan diri (self improvement)
               7.       Kewajiban untuk tidak merugikan (non-malificence)

3.    Teori Etika Keutamaan
3 hal yang mencirikan keutamaan, yaitu:
                1.            Disposisi artinya keutamaan merupakan suatu kencenderungan tetap.
    2.   Berkaitan dengan kemauan atau kehendak, artinya keutamaan adalah kecenderungan tetap yang menyebabkan kehendak tetap pada arah tertentu.
               3.       Pembiasaan diri, artinya keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir tetapi diperoleh dengan cara membiasakan diri atau berlatih.

Sejumlah teori dan konsep etika telah dikembangkan oleh beberapa filsuf
atau  pemikir  dalam  bidang  etika.  Pembelajaran  teori  etika  tersebut  untuk memperoleh kemudahan dalam mengupas persoalan etika dan sebagai panduan untuk menentukan benar atau salahnya suatu tindakan, keputusan dan kebijakan.
     1.        Teori Teleleologi.
Dalam buku karangan Kusmanadji (2004, II-1-II-2) dikemukakan bahwa teori teleleologi disebut juga teori konsekuensialis, menyatakan bahwa nilai moral suatu tindakan ditentukan semata-mata oleh konsekuensi tindakan tersebut. Benar atau salahnya tindakan ditentukan oleh hasil atau akibat dari tindakan tersebut. Maka, yang menyebabkan tindakan itu benar atau salah adalah bukan tindakan itu sendiri melainkan akibat dari tindakan tersebut. Akibat dalam hal ini adalah konsekuensi baik.  Oleh  karena  itu,  kebaikan  merupakan  konsep  fundamental  dalam  teori teleleologi.
Menurut Aristoteles, Etika teleologis atau Etika Aristoteles, yakni etika yang mengukur benar/salahnya tindakan manusia dari menunjang tidaknya  tindakan tersebut ke arah pencapaian tujuan (telos) akhir yang ditetapkan sebagai tujuan hidup manusia. Setiap tindakan menurut Aristoteles diarahkan pada suatu tujuan, yakni pada yang baik (agathos). Yang baik adalah apa yang secara kodrati menjadi arah tujuan akhir (causa finalis) adanya sesuatu. Yang baik yang menjadi tujuan akhir hidup manusia   menurut   dia   adalah   kebahagiaan   atau   kesejahteraan (eudaimonia). Itulah sebabnya teori etikanya sering disebut sebagai teori etika Eudaimonisme.
Dalam  buku  karangan  Ucok  Sarimah (2008, 5-6)  membedakan  teori teleleologi menjadi 3, yaitu:
a.    Egoisme Etis
Suatu  tindakan  benar  atau  salah  tergantung  semata-mata  pada  baik buruknya akibat tindakan tersebut bagi pelakunya.
b.    Altruisme Etis
Berlawanan  dengan egoisme  etis, bahwa  baik  buruknya  suatu tindakan ditentukan oleh baik buruknya akibat tindakan tersebut terhadap orang lain, kecuali pelaku.
c.    Utilitarianisme
Gabungan antara egoisme etis dan altruisme etis, bahwa benar salahnya tindakan tergantung pada baik buruknya konsekuensi tindakan tersebut bagi siapa saja yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut.
Dari ketiga teori tersebut, teori teleleologi yang sangat menonjol adalah utilitarianisme yang biasanya dihubungkan dengan filsuf Inggris, Jeremy Betham dan John Stuart Mill. Sesuai dengan namanya utilitarisme berasal dari kata utility dengan bahasa latinnya utilis yang artinya “bermanfaat” dalam mengukur baik dan buruk. Kebaikan  didefinisikan  sebagai  kesenangan  sedangkan  keburukan  didefinisikan sebagai kesedihan. Bentuk klasik utilitarianisme dinyatakan sebagai berikut: “Suatu tindakan adalah benar jika dan hanya jika tindakan itu menghasilkan selisih terbesar kesenangan di atas kesedihan bagi setiap orang.”
Dalam buku karangan Kusmanadji (2004, 2), Utilitarianisme mencakup empat prinsip, yaitu:
1)    Konsekuensialisme. Prinsip yang berpendiran bahwa kebenaran tindakan ditentukan semata-mata oleh konsekuensinya.
2)   Hedonisme. Manfaat (utility) dalam teori ini didefinisikan sebagai kesenangan dan tidak adanya kesedihan. Hedonisme adalah prinsip bahwa kesenangan dan hanya kesenanganlah yang merupakan perbuatan tertinggi.
3)   Maksimalisme. Tindakan yang benar adalah tindakan yang tidak hanya memiliki konsekuensi berupa beberapa kebaikan, tetapi juga jumlah terbesar konsekuensi baik setelah memperhitungkan konsekuensi buruk.
4)   Universalisme. Konsekuensi yang harus dipertimbangkan adalah konsekuensi bagi setiap orang

Utilitarianisme Klasik dan Utilitarianisme Pluralistik 

Utilitarianisme Klasik mendefinisikan kebaikan tertinggi adalah kesenangan (pleasure) dan keburukan tertinggi adalah keburukan (plain) dan semua tindakan harus dievaluasi dengan ukuran kesenangan dan kesedihan yang dihasilkan bagi semua orang yang dipengaruhi.
Utilitarianisme Pluralistik disebut juga utilitarianisme dalam arti luas yaitu dengan mengartikan kebaikan sebagai kesejahteraan umat manusia. Apapun yang menjadikan umat manusia secara umum lebih baik atau memberikan manfaat adalah kebaikan, dan apapun yang menyebabkan umat manusia menjadi lebih buruk atau menimbulkan kerugian adalah keburukan.

Utilitarianisme Tindakan dan Utilitarianisme Aturan 

Utilitarianisme Tindakan berpendirian bahwa dalam semua situasi seseorang seharusnya melakukan tindakan yang memaksimalkan manfaat (utility) bagi semua orang yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut. Dapat pula dinyatakan suatu tindakan adalah benar jika dan hanya jika tindakan itu menghasilkan selisih terbesar dari kebaikan atas keburukan bagi setiap orang.
Utilitarianisme  Aturan  berpendirian  bahwa  manfaat  dapat  diperhitungkan pada kelompok-kelompok tindakan, bukan pada masing-masing tindakan secara individual. Dapat pula dinyatakan suatu tindakan adalah benar jika dan hanya jika tindakan  itu  sesuai  dengan  seperangkat aturan  yang  keberterimaannya  secara umum akan menghasilkan selisih terbesar dari kebaikan atas keburukan bagi setiap orang.
Meski pun sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti utilitarisme secara teoritis tidak memiliki masalah. Jika semua yang dikategorikan sebagai baik hanya diperoleh dari manfaat terbanyak bagi orang terbanyak, maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada anjing gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang menyarankan anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya menyarankan dibunuh. Penganut utilitarisme akan menjawab tentu yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan? Apakah mereka harus menerima itu begitu saja? Kalau menurut teori ini YA.
Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia? Bukan tidak mungkin hal ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam perkembangan peradaban ada sejarah diskriminasi ras mau pun etnis. Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa sebelum tahun 1997 tampaknya tidak terdengar asing lagi di telinga. Salah satu sebab mereka didiskriminasikan karena mereka minoritas, dan mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini dibenarkan selama diskriminasi membawa manfaat.
Kelebihannya  adalah  ketika  berkenaan  dengan  bisnis  dan  keuangan. Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai tinjauan atas keputusan yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan yang ada kebanyakan adalah angkaangka, jadi keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan jumlah terbanyak bagi manfaat terbanyak.
    2.        Teori Deontologi.
Menurut Teori Deontologi perbuatan tertentu adalah benar bukan karena manfaat bagi kita sendiri atau orang lain tetapi karena sifat atau hakikat perbuatan itu sendiri atau kaidah yang diikuti untuk berbuat. Dalam buku karangan Ucok Sarimah (2008, 6) dalam kaitannnya dengan teori deontologi dikenal:
a.    Deontologi Tindakan
Menurut teori ini, bila seseorang dihadapkan pada situasi dimana harus mengambil  keputusan,  seseorang  harus  segera  memahami  apa  yang  harus dilakukan tanpa mendasarkan pada peraturan atau pedoman.
b.    Deontologi Kaidah
Suatu tindakan benar atau salah karena kesesuaian atau tidak sesuainya dengan suatu prinsip moral yang benar.
c.    Deontologi Monistik
Teori ini mendukung suatu kaidah umum seperti “the golden rule” sebagi prinsip moral tertinggi yang menjadi dasar untuk menurunkan kaidah atau prinsipprinsip moral lainnya.
d.    Dentologi Pluralistik
Teori ini dikemukakan oleh William David Ross yang mengidentifikasi tujuh kewajiban moral pada pandangan pertama (prime face). Teori deontologi sebenarnya sudah ada sejak periode filsafat Yunani Kuno, tetapi baru mulai diberi perhatian setelah diberi penjelasan dan pendasaran logis oleh filsuf Jerman yaitu Immanuel Kant. Kata deon berasal dari Yunani yang artinya kewajiban. Sudah jelas kelihatan bahwa teori deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan  baik  jika  didasari  atas  pelaksanaan  kewajiban,  jadi  selama  melakukan kewajiban  berarti  sudah  melakukan  kebaikan.  Deontologi  tidak  terpasak  pada konsekuensi perbuatan, dengan kata lain deontologi melaksanakan terlebih dahulu tanpa memikirkan akibatnya. Berbeda dengan utilitarisme yang mempertimbangkan hasilnya lalu dilakukan perbuatannya.
Lalu apa itu kewajiban menurut deontologi? Sulit untuk mendefinisikannya namun pemberian contoh mempermudah dalam memahaminya. Misalnya, tidak boleh menghina, membantu orang tua, membayar hutang, dan tidak berbohong adalah perbuatan yang bisa diterima secara universal. Jika ditanya secara langsung apakah boleh menghina orang? Tidak boleh, apakah boleh membantu orang tua? Tentu itu harus. Semua orang bisa terima bahwa berbohong adalah buruk dan membantu orang tua adalah baik. Nah, kira-kira seperti itulah kewajiban yang dimaksud.
Menurut Kant, terdapat tiga kriteria agar suatu tindakan atau prinsip itu bermoral:
b.     Tindakan   atau   prinsip   itu   haruslah   secara   konsisten   universal (dapat diuniversalkan).
c.      Suatu tindakan secara moral benar bagi seseorang pada situasi tertentu jika dan hanya jika alasan untuk melakukan tindakan tersebut merupakan alasan yang ia harapkan dimiliki oleh orang lain pada situasi yang sama.
d.     Tindakan atau prinsip itu menghargai makhluk relasional sebagai tujuan akhir.
e.     Suatu tindakan secara moral benar jika dan hanya jika dalam melaksanakan tindakan tersebut seseorang tidak memperlakukan orang lain semata-mata sebagai alat untuk memenuhi kepentingannya sendiri, tetapi menghargai orang lain sebagai tujuan akhir bagi dirinya sendiri.
f.      Tindakan  atau  prinsip  itu  berasal  dari,  dan  menghargai,  otonomi  makhluk rasional.
g.     Suatu tindakan adalah benar secara moral jika dan hanya jika tindakan tersebut menghargai kapasitas orang untuk memilih secara bebas bagi dirinya sendiri.
Selain Kant, filsuf lain yang dikaitkan dengan Teori Deontologi adalah William David Ross. Menurut penilaian moral yang umum, seseorang tidak perlu barangkali bahkan tidak boleh membiarkan konsekuensi buruk dari perbuatan sebenarnya baik, jika orang itu mempunyai kemampuan untuk mencegahnya. Ross mengajukan jalan keluar dengan mengidentifikasi tujuh kewajiban moral pada pandangan pertama (prima  face).  Artinya  bahwa  kewajiban-kewajiban  tersebut  harus  dilaksanakan kecuali  ada  kewajiban  lain  yang  lebih  penting  atau  pada  situasi  tertentu  ada kewajiban lain yang sama atau lebih kuat. Ketujuh kewajiban moral tersebut adalah:
h.     Fidelity (kewajiban menepati janji/kesetiaan).
i.       Kita harus menepati janji yang dibuat dengan bebas, baik eksplisit maupun implisit, dan mengatakan kebenaran.
j.      Reparation (kewajiban ganti rugi).
k.     Kita harus  memberikan ganti  rugi  kepada orang  yang  mengalami  kerugian karena tindakan kita yang salah, kita harus melunasi hutang moril dan materiil.
l.       Gratitude (kewajiban berterima kasih).
m.    Kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita.
n.      Justice (kewajiban keadilan).
o.      Kita harus memastikan bahwa kebaikan dibagikan sesuai dengan jasa orang yang bersangkutan.
p.     Benefience (kewajiban berbuat baik).
q.      Kita harus membantu orang lain yang membutuhkan bantuan kita, berbuat apa pun yang dapat kita perbuat untuk memperbaiki keadaan orang lain.
r.      Self-improvement (kewajiban mengembangkan diri).
s.      Kita harus mengembangkan dan meningkatkan diri kita dibidang keutamaan, intelegensi, dll.
t.      Non-maleficence (kewajiban tidak merugikan).
u.      Kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.

    3.        Teori Keutamaan (Virtue).
Teori keutamaan (virtue) adalah teori yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati,  melainkan:  apakah  orang  itu  bersikap adil, jujur,  murah  hati,  dan sebagainya. (Velasquez;2005) . Isu utama teori keutamaan adalah membicarakan tentang karakter apa saja yang membuat seseorang sebagai orang baik secara moral. Teori keutamaan sering juga dikatakan sebagai teori yang membicarakan tentang karakter yang merupakan keutamaan moral. Karakter yang pada umumnya dianggap sebagai  keutamaan  moral adalah  watak  baik  yang ada pada  setiap
individu. Karakter yang umumnya dianggap sebagai keutamaan moral adalah:
a.    Keberanian/keteguhan,  meningkatkan  peluang  untuk  memperoleh  apa  yang diinginkan.
b.    Kejujuran, mensyaratkan niat baik dan tulus untuk menyampaikan kebenaran.
c.    Kesetiaan, tanggung jawab untuk menjunjung tinggi dan melindungi kepentingan pihak-pihak tertentu dan organisasi.
d.    Keandalan,  berusaha  secara  maksimal  dan  masuk  akal  dalam  memenuhi komitmen.
e.    Moderat ( tidak ekstrim, cenderung ke dimensi pada umumnya).
f.    Pengendalian diri yang baik.
g.    Toleransi terhadap sesama.
h.    Keramahan merupakan inti  kehidupan bisnis, keramahan  itu hakiki untuk setiap hubungan antar manusia, hubungan bisnis tidak terkecuali.
i.     Loyalitas berarti bahwa seseorang tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi mempunyai juga komitmen yang tulus dengan perusahaan.
j.     Kehormatan  adalah  keutamaan  yang  membuat  seseorang    menjadi  peka terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan.
k.    Rasa malu membuat  solider dengan kesalahan  perusahaan.
l.      Kesantunan.
m.   Belas kasih.
n.    Bangga (tetapi tidak arogan).
o.    Berkeadilan, memastikan bahwa manfaat atau keuntungan dibagikan sesuai dengan jasa pihak-pihak yang terkait dan berhak, dll.

Etika  keutamaan  memerlukan  konteks,  artinya  dalam  menerapkan  etika keutamaan kita perlu memiliki pemahaman mengenai hakikat manusia dan tujuan hidup ini. Hakikat manusia dapat diketahui dengan lebih memahami watak dari manusia   itu   sendiri.   Sedangkan   tujuan   hidup dapat   ditentukan   dengan mempertanyakan “apa akhir dari kehidupan manusia?”. Bahwa manusia di dunia hanya bagian dari perjalanan panjangnya menuju kehidupan yang kekal sehingga dalam pribadi manusia secara otomatis memiliki sifa-sifat keutamaan. Keutamaan merupakan disposisi  watak  yang  dimiliki  seseorang  dan  memungkinnya  untuk bertingkah laku baik secara moral. Ada tiga hal yang mencerminkan keutamaan, tiga hal tersebut adalah:
a.    Disposisi.
b.    Keutamaan  merupakan  suatu  kecenderungan  tetap.  Keutamaan  cenderung bersifat permanen, walaupun tidak berarti tidak bisa hilang. Walaupun tidak mudah, Keutamaan dapat saja hilang. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi seperti faktor lingkungan, orang di sekitarnya, dll.
c.    Keutamaan merupakan sifat baik dari segi moral yang telah mengakar dalam diri seseorang.
d.    Kemauan/kehendak.
e.    Keutamaan adalah kecenderungan tetap yang menyebabkan kehendak tetap pada arah tertentu. Perilaku berkeutamaan disertai dengan maksud baik. Dengan demikian,  Motivasi  atau  maksud  pelaku  sangat  penting  karena  itulah  yang mengarahkan kehendak.
f.    Pembiasaan diri.
Keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir, melainkan diperoleh dengan cara membiasakan diri atau berlatih. Keberanian, misalnya, adalah keutamaan yang diperoleh melalui pembiasaan diri melawan rasa takut.
Agar seseorang pada akhirnya dapat memiliki keutamaan moral, hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
a.   Pemahaman  dan  menentukan  karakter-karakter  yang  baik  terhadap  tujuan akhir,yaitu kehidupan yang baik.
b.   Memberikan kandungan atau makna terhadap tujuan akhir tersebut.
Dalam   melangsungkan   kehidupan   kesehariannya   manusia   senantiasa melakukan suatu tindakan, tindakan yang dilakukannya ada tindakan yang benar dan ada tindakan yang salah. Suatu tindakan dinyatakan benar apabila tindakan yang dilakukan  sepenuhnya  mewujudkan  atau  mendukung  keutamaan  yang  relevan, dimengerti sebagai ciri-ciri karakter yang memungkinkan untuk mencapai kebaikan-kebaikan sosial (Aristoteles, MacIntyre).

Referensi
Lubis, Satria Hadi. 2011. Etika Profesi PNS. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara