Sabtu, 14 November 2015

Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial

Kadar kemiskinan tidak lagi sekedar masalah kekurangan makanan, tetapi bagi warga masyarakat tertentu bahkan sudah mencapai tahap ekstrem sampai level kehabisan dan ketiadaan makanan. Potret kemiskinan itu menjadi sangat kontras karena sebagian warga masyarakat hidup dalam kelimpahan, sementara sebagian lagi serba kekurangan. Kekayaan bagi sejumlah orang berarti kemiskinan bagi orang lain. Tingkat kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi. Masalah kesenjangan adalah masalah keadilan, yang berkaitan dengan masalah sosial. Masalah kesenjangan mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan.

Menarik untuk disimak apa yang ditulis dalam Tajuk Rencana Kompas (18/10/2011) tentang jeritan kemiskinan. Alahkah tragisnya dampak kemiskinan karena telah membawa kematian, seperti terlihat pada beberapa kasus bunuh diri belakangan ini.

Fenomena kemiskinan memang sangatlah kasatmata sebagai realitas berlapis-lapis yang terus menjerit-jerit, crying povety. Kadar kemiskinan tidak lagi sekedar masalah kekurangan makanan, tetapi bagi masyarakat tertentu bahkan sudah mencapai tahap ekstrem sampai level kehabisan dan ketiadaan makanan. Tidak sedikit orang terkapar karena tidak tahan menderita kelaparan dan kekurangan gizi yang membuka jalan lebih cepat kearah kematian dini. Inilah proses kematian secara pelan-pelan tetapi kejam. Dikatakan oleh pemikir Martin Heidegger (2011) waktu tidak lain dirasakan sebagai perjalanan menuju maut, Zeit zum Tode.

Tidak sedikit orang gagal mengelola rasa lapar dan kemiskinan. Kekalutan hidup itu menghancurkan harapan, merasa diri kalah dan tidak  berdaya, serta fatalistic, yang pada orang tertentu tergiring menuju jalan pintas dengan bunuh diri sebagai upaya membebaskan diri dari situasi tertekan. Tindakan bunuh diri dianggap liberatif. Tidak semua tindakan bunuh diri karena persoalan ekonomi, tetapi bisa saja karena faktor lain. Namun, kasus bunuh diri karena alasan ekonomi termasuk sangat tragis karena memperlihatkan pudarnya rasa kemanusiaan dan kepedulian. Para pemimpin juga kehilangan sensitivitas atas nasib rakyat yang bergulat dengan kemiskinan. Sebagian uang bagi program perbaikan nasib warga miskin dicuri dalam praktik korupsi yang semakin kompleks dan merebak luas dari pusat sampai ke daerah-daerah. Kemiskinan nurani sedang menghinggapi kaum elit bangsa (2011).

Dampak kemiskinan nurani ini sangatlah luar biasa sebagai kejahatan dengan membiarkan sebagian warga masyarakat menderita dan bergulat dengan kesulitan hidup. Persoalan kemiskinan itu terasa semakin dramatis karena berlangsung di negeri yang digambarkan sangat kaya sumber daya alam. Masih ada sebagian warga masyarakat untuk dapat makan sekali sehari saja sulit.

Potret kemiskinan itu menjadi sangat kontras karena sebagian warga masyarakat hidup dalam kelimpahan, sementara sebagian lain hidup serba kekurangan. Kekayaan bagi sejumlah orang berarti kemiskinan bagi orang lain. Tingkat kesenjangan luar biasa dan relatif cukup membahayakan.

Karena itu, ketika kebangkitan nasionalisme tidak bisa meningkatkan taraf hidup berperadaban, nasionalisme dapat meredup dan luruh dengan sendirinya sebagaimana yang kita alami dewasa ini. Kemiskinan structural dan cultural yang permanen dalam kehidupan membuat karakter bangsa ini makin terpuruk. Akibatnya, bangsa ini kehilangan jati diri, yang membuatnya makin sulit meningkatkan kembali semangat nasionalismenya.

Pengamat ekonomi Yanuar Rizky (2011), mengatakan bahwa kelompok masyarakat yang sangat kaya masih menjadi penyokong utuma pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga mereka. Sementara sector industri berorientasi penciptaan nilai tambah penyerap lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan pertumbuhan ekonomi justru kian melemah.

Pertumbuhan ekonomi yang kuat menuju 2013 dengan sistem ekonomi terbuka sama sekali bukan jaminan bahwa kesenjangan kaya-miskin di Indonesia akan berkurang. Menurut Sayidiman Suryohadiprojo (2011), mereka mengatakan bahwa kesenjangan yang lebar mengakibatkan berbagai kelemahan masyarakat, seperti kriminalitas tinggi, penggunaan narkotika meningkat, bahkan tingkat tinggi dalam penyakit jantung dan kanker.

Kesenjangan yang lebar tak hanya berakibat pada ekonomi, tetapi juga amat besar dampaknya terhadap kondisi psikologi bangsa. Subtansi dari kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi. Masalah kesenjangan adalah masalah keadilan, yang berkaitan dengan masalah sosial (Oman Sukamana, 2005). Masalah kesenjangan mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan.

Sosiolog Mochtar Naim (2011) mengabarkan bahwa yang ditonjolkan selama ini hanyalah “ apa dan bagaimana serta dengan hasil capaian berapa, secara makro, lalu dibagi dengan jumlah penduduk”, tetapi tak pernah “oleh siapa dan untuk siapa, menurut jalur pelapisan sosial”. Padahal struktur masyarakat kita sangat berlapis dan bertingkat, bahkan cenderung dualistik dan dikotomik. Celakanya, pelapisan dan dualisme ataupun dikotomi sosial itu, seperti pada zaman colonial dulu, cenderung etnosentrik dan etnobias pula sifatnya. Artinya, kelompok terkecil masyarakat menurut jalur etnik itu, yang umumnya adalah nonpribumi, menguasi bagian terbesar kekayaan nasional. Sementara kelompok terbesar dari masyarakat pribumi yang merupakan pewaris sah dari republik ini mendapatkan bagian dan porsi terkecil. Akibatnya, cita-cita Pasal 34 UUD 1945, “pembangunan itu adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, hanyalah isapan jempol belaka.

Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Kecuk Suharyanto, 2011).

Definisi itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah multidemensi sulit mengukurnya sehingga perlu kesepakatan pendekatan pengukuran yang dipakai. Salah satu konsep perhitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak Negara, termasuk Indonesia adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai kemampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (Suhariyanto, 2011).

Dalam terapannya, dihitunglah garis kemiskinan absolute. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran atau pendapatan per kapital per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Perhitungan penduduk miskin ini didasarkan pada data sampel, bukan data sensus, sehingga hasil sebetulnya hanyalah estimasi. Data yang dihasilkan biasa disebut data kemiskinan makro. Di Indonesia, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional. BPS menyajikan data kemiskinan makro ini sejak tahun 1984 sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin bisa diikuti dalam waktu ke waktu.

Kesejahteraan atau keadaan tidak miskin merupakan keinginan lahiriah setiap orang. Keadaan semacam itu, akan tetapi, barulah sekadar memenuhi kepuasan hidup manusia sebagai makhluk individu. Padahal, disamping sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Setiap orang merupakan bagian dari masyarakkanya. Dalam kapasitas sebagai makhluk sosial ini (Dumairy, 1997), manusia membutuhkan “kebersamaan” dengan manusia-manusia lain di dalam masyarakatnya. Kesetaraan kemakmuran dalam arti perbedaan yang ada tidak terlalu mencolok, merupakan sarana yang memungkinkan orang-orang bisa hidup bermasyarakat dengan baik dan tenang, tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Kemerataan sama pentingnya dengan kemakmuran. Pengurangan kesenjangan sama pentingnya dengan pengurangan kemiskinan.

Ditilik berdasarkan berbagai indikator, terlihat masih berlangsungnya kesenjangan kesejahteraan anatara orang-orang desa dengan orang-orang kota. Bahkan untuk beberapa variabel atau indikator, sekalipun tingkat kesejahteraannya mengisyaratkan adanya perbaikan, perbedaan itu cukup mencolok. Persentase penduduk berusia 10 tahun ke atas yang melek huruf lebih besar di kota daripada di desa. Keadaan bayi dan anak-anak balita di kota lebih baik daripada di desa. Semua ini cukup membuktikan masih memprihatinkannya kesenjakan sosial antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Kesenjangan sosial pun bukan hanya berlangsung antardaerah, tetapi juga antar wilayah.

Pengurangan kemiskinan memang perlu. Akan tetapi pengurangan kemiskinan tidak selalu berarti pengurangan ketimpangan. Sebagai suatu bangsa, kita bukan hanya hidup tetapi ingin hidup lebih makmur (tidak miskin), tetapi juga mendambakan kebersamaan dalam kemakmuran, kesejahteraan bersama yang relatif, tanpa perbedaan mencolok satu sama lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar