Kadar
kemiskinan tidak lagi sekedar masalah kekurangan makanan, tetapi bagi warga
masyarakat tertentu bahkan sudah mencapai tahap ekstrem sampai level kehabisan
dan ketiadaan makanan. Potret kemiskinan itu menjadi sangat kontras karena
sebagian warga masyarakat hidup dalam kelimpahan, sementara sebagian lagi serba
kekurangan. Kekayaan bagi sejumlah orang berarti kemiskinan bagi orang lain.
Tingkat kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.
Masalah kesenjangan adalah masalah keadilan, yang berkaitan dengan masalah
sosial. Masalah kesenjangan mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan.
Menarik
untuk disimak apa yang ditulis dalam Tajuk Rencana Kompas (18/10/2011) tentang
jeritan kemiskinan. Alahkah tragisnya dampak kemiskinan karena telah membawa
kematian, seperti terlihat pada beberapa kasus bunuh diri belakangan ini.
Fenomena
kemiskinan memang sangatlah kasatmata sebagai realitas berlapis-lapis yang
terus menjerit-jerit, crying povety.
Kadar kemiskinan tidak lagi sekedar masalah kekurangan makanan, tetapi bagi
masyarakat tertentu bahkan sudah mencapai tahap ekstrem sampai level kehabisan
dan ketiadaan makanan. Tidak sedikit orang terkapar karena tidak tahan
menderita kelaparan dan kekurangan gizi yang membuka jalan lebih cepat kearah
kematian dini. Inilah proses kematian secara pelan-pelan tetapi kejam.
Dikatakan oleh pemikir Martin Heidegger (2011) waktu tidak lain dirasakan
sebagai perjalanan menuju maut, Zeit zum
Tode.
Tidak
sedikit orang gagal mengelola rasa lapar dan kemiskinan. Kekalutan hidup itu
menghancurkan harapan, merasa diri kalah dan tidak berdaya, serta fatalistic, yang pada orang tertentu tergiring menuju jalan pintas
dengan bunuh diri sebagai upaya membebaskan diri dari situasi tertekan.
Tindakan bunuh diri dianggap liberatif. Tidak semua tindakan bunuh diri karena
persoalan ekonomi, tetapi bisa saja karena faktor lain. Namun, kasus bunuh diri
karena alasan ekonomi termasuk sangat tragis karena memperlihatkan pudarnya
rasa kemanusiaan dan kepedulian. Para pemimpin juga kehilangan sensitivitas
atas nasib rakyat yang bergulat dengan kemiskinan. Sebagian uang bagi program
perbaikan nasib warga miskin dicuri dalam praktik korupsi yang semakin kompleks
dan merebak luas dari pusat sampai ke daerah-daerah. Kemiskinan nurani sedang
menghinggapi kaum elit bangsa (2011).
Dampak
kemiskinan nurani ini sangatlah luar biasa sebagai kejahatan dengan membiarkan
sebagian warga masyarakat menderita dan bergulat dengan kesulitan hidup.
Persoalan kemiskinan itu terasa semakin dramatis karena berlangsung di negeri
yang digambarkan sangat kaya sumber daya alam. Masih ada sebagian warga
masyarakat untuk dapat makan sekali sehari saja sulit.
Potret
kemiskinan itu menjadi sangat kontras karena sebagian warga masyarakat hidup
dalam kelimpahan, sementara sebagian lain hidup serba kekurangan. Kekayaan bagi
sejumlah orang berarti kemiskinan bagi orang lain. Tingkat kesenjangan luar
biasa dan relatif cukup membahayakan.
Karena
itu, ketika kebangkitan nasionalisme tidak bisa meningkatkan taraf hidup
berperadaban, nasionalisme dapat meredup dan luruh dengan sendirinya
sebagaimana yang kita alami dewasa ini. Kemiskinan structural dan cultural yang
permanen dalam kehidupan membuat karakter bangsa ini makin terpuruk. Akibatnya,
bangsa ini kehilangan jati diri, yang membuatnya makin sulit meningkatkan
kembali semangat nasionalismenya.
Pengamat
ekonomi Yanuar Rizky (2011), mengatakan bahwa kelompok masyarakat yang sangat
kaya masih menjadi penyokong utuma pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah
tangga mereka. Sementara sector industri berorientasi penciptaan nilai tambah
penyerap lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan
pertumbuhan ekonomi justru kian melemah.
Pertumbuhan
ekonomi yang kuat menuju 2013 dengan sistem ekonomi terbuka sama sekali bukan
jaminan bahwa kesenjangan kaya-miskin di Indonesia akan berkurang. Menurut Sayidiman
Suryohadiprojo (2011), mereka mengatakan bahwa kesenjangan yang lebar
mengakibatkan berbagai kelemahan masyarakat, seperti kriminalitas tinggi,
penggunaan narkotika meningkat, bahkan tingkat tinggi dalam penyakit jantung
dan kanker.
Kesenjangan
yang lebar tak hanya berakibat pada ekonomi, tetapi juga amat besar dampaknya
terhadap kondisi psikologi bangsa. Subtansi dari kesenjangan adalah
ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi. Masalah kesenjangan adalah
masalah keadilan, yang berkaitan dengan masalah sosial (Oman Sukamana, 2005). Masalah
kesenjangan mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan.
Sosiolog
Mochtar Naim (2011) mengabarkan bahwa yang ditonjolkan selama ini hanyalah “
apa dan bagaimana serta dengan hasil capaian berapa, secara makro, lalu dibagi
dengan jumlah penduduk”, tetapi tak pernah “oleh siapa dan untuk siapa, menurut
jalur pelapisan sosial”. Padahal struktur masyarakat kita sangat berlapis dan
bertingkat, bahkan cenderung dualistik dan dikotomik. Celakanya, pelapisan dan dualisme
ataupun dikotomi sosial itu, seperti pada zaman colonial dulu, cenderung etnosentrik
dan etnobias pula sifatnya. Artinya, kelompok terkecil masyarakat menurut jalur
etnik itu, yang umumnya adalah nonpribumi, menguasi bagian terbesar kekayaan
nasional. Sementara kelompok terbesar dari masyarakat pribumi yang merupakan
pewaris sah dari republik ini mendapatkan bagian dan porsi terkecil. Akibatnya,
cita-cita Pasal 34 UUD 1945, “pembangunan itu adalah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”, hanyalah isapan jempol belaka.
Secara
umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok
orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat (Kecuk Suharyanto, 2011).
Definisi
itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah multidemensi sulit mengukurnya
sehingga perlu kesepakatan pendekatan pengukuran yang dipakai. Salah satu
konsep perhitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak Negara, termasuk
Indonesia adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini,
definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena
kemiskinan hanya dipandang sebagai kemampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (Suhariyanto, 2011).
Dalam
terapannya, dihitunglah garis kemiskinan absolute. Penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran atau pendapatan per kapital per bulan di bawah garis
kemiskinan disebut penduduk miskin. Perhitungan penduduk miskin ini didasarkan
pada data sampel, bukan data sensus, sehingga hasil sebetulnya hanyalah
estimasi. Data yang dihasilkan biasa disebut data kemiskinan makro. Di Indonesia,
sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional. BPS
menyajikan data kemiskinan makro ini sejak tahun 1984 sehingga perkembangan
jumlah dan persentase penduduk miskin bisa diikuti dalam waktu ke waktu.
Kesejahteraan
atau keadaan tidak miskin merupakan keinginan lahiriah setiap orang. Keadaan semacam
itu, akan tetapi, barulah sekadar memenuhi kepuasan hidup manusia sebagai
makhluk individu. Padahal, disamping sebagai makhluk individu, manusia juga
merupakan makhluk sosial. Setiap orang merupakan bagian dari masyarakkanya. Dalam
kapasitas sebagai makhluk sosial ini (Dumairy, 1997), manusia membutuhkan “kebersamaan”
dengan manusia-manusia lain di dalam masyarakatnya. Kesetaraan kemakmuran dalam
arti perbedaan yang ada tidak terlalu mencolok, merupakan sarana yang
memungkinkan orang-orang bisa hidup bermasyarakat dengan baik dan tenang, tidak
menimbulkan kecemburuan sosial. Kemerataan sama pentingnya dengan kemakmuran. Pengurangan
kesenjangan sama pentingnya dengan pengurangan kemiskinan.
Ditilik
berdasarkan berbagai indikator, terlihat masih berlangsungnya kesenjangan
kesejahteraan anatara orang-orang desa dengan orang-orang kota. Bahkan untuk
beberapa variabel atau indikator, sekalipun tingkat kesejahteraannya mengisyaratkan
adanya perbaikan, perbedaan itu cukup mencolok. Persentase penduduk berusia 10
tahun ke atas yang melek huruf lebih besar di kota daripada di desa. Keadaan bayi
dan anak-anak balita di kota lebih baik daripada di desa. Semua ini cukup
membuktikan masih memprihatinkannya kesenjakan sosial antara masyarakat desa
dan masyarakat kota. Kesenjangan sosial pun bukan hanya berlangsung
antardaerah, tetapi juga antar wilayah.
Pengurangan
kemiskinan memang perlu. Akan tetapi pengurangan kemiskinan tidak selalu
berarti pengurangan ketimpangan. Sebagai suatu bangsa, kita bukan hanya hidup tetapi
ingin hidup lebih makmur (tidak miskin), tetapi juga mendambakan kebersamaan
dalam kemakmuran, kesejahteraan bersama yang relatif, tanpa perbedaan mencolok
satu sama lain.